Sering kita jumpai, banyak seorang pengajar atau guru yang trauma terhadap muridnya, bukan karena dia tidak mampu untuk mengondusifkan siswanya, tetapi terkadang justru siswa tersebutlah yang membantah arahan guru, ketika guru mau memukul, guru tersebut terjerat tentang UUD yang tidak memperbolehkannya untuk memukul, padahal, siswa tersebut sangat susah untuk di atur, dalam hal ini maka muncul pertanyaan :
1. bagaimana hukum pengurus atau guru memukul anak santri atau siswa yang tidak sholat atau susah di atur ?
jawab : diperbolehkan dalam rangka mendidik
[فَرْعٌ] قَالَ م ر: يَجُوزُ لِمُؤَدِّبِ الْأَطْفَالِ الْأَيْتَامِ بِمَكَاتِبِ الْأَيْتَامِ أَمْرُهُمْ وَضَرْبُهُمْ عَلَى نَحْوِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ أَوْصِيَاءٌ، لِأَنَّ الْحَاكِمَ لَمَّا قَرَّرَهُ لِتَعْلِيمِهِمْ كَانَ مُسَلَّطًا لَهُ عَلَى ذَلِكَ فَثَبَتَتْ لَهُ بِهَذِهِ الْوِلَايَةِ فِي وَقْتِ التَّعْلِيمِ، وَلِأَنَّهُمْ ضَائِعُونَ فِي هَذَا الْوَقْتِ لِغَيْبَةِ الْوَصِيِّ عَنْهُمْ وَقَطْعِ نَظَرِهِ عَنْهُمْ فِي هَذَا الْوَقْتِ، فَكَانَ مِنْ الْمَصْلَحَةِ لَهُمْ ثُبُوتُ هَذِهِ الْوِلَايَةِ فِي هَذَا الْوَقْتِ لِلْمُؤَدِّبِ.
[الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,1/392]
apakah harus izin kepada wali murid sebelum melakukan hukuman karena pelanggaran si santri atau siswa ?
jawab :
1. tidak harus, karena sudah kebiasaan di sekolah/pondok ketika melanggar peraturan maka dihukum dengan hukuman yang wajar.
2. ada sebagian ulama yang tidak memperbolehkan menghukum bagi yang sudah baligh tanpa izin dari orang tua nya.
Referensi:
– ويجب أن ينقص التعزير عن أربعين ضربة في الحر وعن عشرين في غيره. وعزر أب وإن علا وألحق به الرافعي الأم وإن علت.
ومأذونه أي من أذن له في التعزير كالمعلم صغيرا وسفيها بارتكابهما ما لا يليق زجرا لهما عن سَيِّءِ الأخلاق. وللمعلم تعزير المتعلم منه.
[زين الدين المعبري ,فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين ,page 587]
– (قوله: كالمعلم) أي فإذا أذن له الاب بالتعزير فله ذلك ولو كان بالغا، وإذا لم يأذن له فيه، فليس له ذلك – كما في التحفة والنهاية – وقال في شرح الروض: قال الأذرعي وسكت الخوارزمي وغيره عن هذا التقييد، والاجماع الفعلي مطردٌ من غير إذن.
[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ١٩١/٤]
وَأَقُولُ أَيْضًا: يَنْبَغِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِمُؤَدِّبِ مَنْ سَلَّمَهُ إلَيْهِ وَلِيُّهُ لَا الْحَاكِمُ أَمْرُهُ وَضَرْبُهُ لِأَنَّهُ قَرِيبٌ مِنْ الْمُودَعِ فِي هَذَا الْوَقْتِ اهـ سم عَلَى مَنْهَجٍ
[الرملي، شمس الدين ,نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ,
1/392]
jadi dari ibarat yang telah di tampilkan di atas, bisa kita ambil kesimpulan :
1. Seorang guru boleh memukul dengan wajar ( tanpa ada luka lebam ) dalam rangka mendidik.
2. Seorang guru boleh menghukum siswa atau santri nya tanpa harus izin terlebih dahulu karena sudah umum dalam sekolah/pondok bahwa tanggung jawab Siswa/santri sudah di tanggung pengajar.
3. Seorang guru sudah ma’lum di izinkan secara adat untuk menghukum siswa/santrinya selama dalam konteks wajar ( bukan guru tempramental ).
seperti : jongkok, di pampang, membersihkan kamar mandi, Pus Up dan lain nya yang masih dalam konteks wajar tetapi tidak menimbulkan luka serius atau memar.
( A.M.Syafi’il Anam S.Ag )
